masukkan script iklan disini
Oleh: Husnil Kirom, M.Pd.
(Guru SMP Negeri 1 Indralaya Utara)
INDRALAYA.DS,-- Selamat Hari Pers Nasional Tahun 2020 kepada seluruh insan pers di Indonesia. Kita termasuk bangsa yang besar di dunia. Salah satu ciri dari bangsa yang besar adalah masyarakatnya yang literat dengan peradaban tinggi.
Rendahnya literasi bukan hanya masalah bangsa Indonesia bebas dari buta aksara saja, tetapi yang lebih penting bagaimana caranya bangsa Indonesia memiliki kecakapan hidup untuk bersaing dan bersanding dengan bangsa lain di dunia. Artinya bangsa dengan budaya literasi yang tinggi akan menunjukkan kemampuan dalam berkolaborasi, berpikir kritis, kreatif, dan komunikatif sehingga dapat memenangi persaingan global di era revolusi industri 4.0 ini. Sebagai bangsa yang besar, kita harus mampu mengembangkan budaya literasi sebagai prasyarat dalam kecakapan hidup abad ke-21. Budaya literasi dilaksanakan melalui pendidikan yang terintegrasi, mulai dari keluarga, sekolah, sampai dengan pendidikan di masyarakat. Pertemuan World Economic Forum tahun 2015, disepakati ada enam penguasaan literasi dasar, yaitu literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, serta literasi budaya dan kewarganegaraan. Keenam literasi dasar tersebut sangatlah penting bagi semua, terutama peserta didik, pendidik, juga orang tua dan masyarakat.
Semakin berkembangnya teknologi informasi komunikasi saat ini, terutama penggunaan internet oleh generasi milenial menjadi penanda era digitalisasi yang perlu diwaspadai bersama. Tentu membawa konsekuensi dasar bahwa pentingnya penguasaan literasi digital bagi generasi milenial. Hal tersebut dikarenakan Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah pengguna internet terbesar di dunia. Tingginya penetrasi internet yang dilakukan generasi milenial tentu meresahkan banyak pihak.
Sebagaimana dilansir dari Harian Republika (2017) bahwa fakta menunjukkan bahwa data akses anak Indonesia terhadap konten berbau pornografi per hari rata-rata mencapai 25 ribu orang. Belum lagi perilaku berinternet yang tidak sehat, ditunjukkan dengan menyebarnya berita atau informasi hoaks, ujaran kebencian, dan intoleransi di media sosial. Menjadi tantangan bagi pendidik, orang tua, masyarakat, pemerintah, dan semua pihak yang mempunyai tanggung jawab dan peran serta dalam mempersiapkan generasi milenial yang selektif dan memiliki kompetensi digital yang mumpuni.
Generasi milenial yang memiliki keahlian untuk mengakses media digital saat ini belum mengimbangi kemampuannya dalam menggunakan media digital untuk kepentingan memperoleh informasi terkait pengembangan dirinya. Hal ini juga tidak didukung dengan bertambahnya materi dan informasi yang disajikan di media digital yang sangat beragam jenis, relevansi, dan validasinya (Hagel, 2012). Di Indonesia saat ini, perkembangan jumlah media tercatat meningkat pesat, yakni mencapai sekitar 43.400, sedangkan yang terdaftar di Dewan Pers hanya sekitar 243 media saja. Dengan demikian, masyarakat dengan mudah mendapatkan informasi dari berbagai media yang ada, terlepas dari resmi atau tidaknya berita tersebut (Kumparan, 2017). Hal ini terindikasi dari semakin merosotnya budaya baca masyarakat yang memang masih dalam tingkat yang rendah.
Kehadiran berbagai gawai atau gadget yang bisa terhubung dengan jaringan internet mengalihkan perhatian orang dari buku ke gawai yang mereka miliki. Di sisi lain, perkembangan media digital memberikan peluang, seperti meningkatnya peluang bisnis, lahirnya lapangan kerja berbasis media digital, pengembangan kemampuan literasi daring tanpa menegasikan teks berbasis cetak lagi. Namun, perkembangan pesat dunia digital yang dapat dimanfaatkan adalah munculnya ekonomi kreatif dan usaha-usaha untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru. Selain itu, jenis lapangan pekerjaan yang memanfaatkan dunia digital bertambah banyak, seperti ojek/taksi daring dan media sosial analisis.
Menurut Paul Gilster (1997) literasi digital adalah kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dari berbagai sumber yang sangat luas yang diakses melalui piranti komputer. Literasi digital berakar pada literasi komputer dan literasi informasi. Literasi komputer berkembang pada dekade 1980-an, ketika komputer mikro semakin luas dipergunakan, tidak saja di lingkungan bisnis, tetapi juga di masyarakat. Namun, literasi informasi baru menyebar luas pada dekade 1990-an manakala informasi semakin mudah disusun, diakses, disebarluaskan melalui teknologi informasi berjejaring. Jadi, literasi digital lebih banyak dikaitkan dengan keterampilan teknis dalam mengakses, merangkai, memahami, dan menyebarluaskan informasi. Sederhananya, media digital terdiri dari berbagai informasi sekaligus suara, tulisan dan gambar.
Sementara Belshaw (2011) mengatakan ada delapan elemen untuk mengembangkan literasi digital, yaitu (a) Elemen Kultural sebagai pemahaman ragam konteks pengguna dunia digital; (b) Elemen Kognitif adalah daya pikir dalam menilai konten; (c) Elemen Konstruktif sebagai reka cipta sesuatu yang ahli dan aktual; (d) Elemen Komunikatif dalam memahami kinerja jejaring dan komunikasi di dunia digital; (e) Elemen Kepercayaan diri yang bertanggung jawab; (f) Elemen Kreatif dalam melakukan hal baru dengan cara baru; (g) Elemen Kritis dalam menyikapi konten; (h) Elemen Bertanggung Jawab secara sosial. Jadi, kultural menjadi elemen terpenting karena memahami konteks pengguna akan membantu aspek kognitif dalam menilai konten disajikan. Literasi digital adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat komunikasi, dan jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum membina komunikasi dan interaksi di kehidupan sehari-hari.
Setiap individu perlu memahami bahwa literasi digital merupakan hal penting yang dibutuhkan untuk dapat berpartisipasi di dunia modern sekarang ini. Literasi digital sama pentingnya dengan membaca, menulis, berhitung, dan disiplin ilmu lainnya. Generasi yang tumbuh dengan akses yang tidak terbatas dalam teknologi digital mempunyai pola berpikir yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Setiap orang hendaknya dapat bertanggung jawab terhadap bagaimana menggunakan teknologi untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Teknologi digital memungkinkan orang untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan keluarga dan teman dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya, dunia maya saat ini semakin dipenuhi konten berbau berita bohong, ujaran kebencian, dan radikalisme, bahkan praktik-praktik penipuan. Keberadaan konten negatif yang merusak ekosistem digital saat ini hanya bisa ditangkal dengan membangun kesadaran dari tiap-tiap individu itu sendiri.
Menjadi literat digital berarti dapat memproses berbagai informasi, dapat memahami pesan dan berkomunikasi efektif dengan orang lain dalam berbagai bentuk. Dalam hal ini, bentuk yang dimaksud termasuk menciptakan, mengolaborasi, mengomunikasikan, dan bekerja sesuai dengan aturan etika, dan memahami kapan dan bagaimana teknologi harus digunakan agar efektif untuk mencapai tujuan. Termasuk juga kesadaran dan berpikir kritis terhadap berbagai dampak positif dan negatif yang mungkin terjadi akibat penggunaan teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Memacu individu untuk beralih dari konsumen informasi yang pasif menjadi produsen aktif, baik secara individu maupun sebagai bagian dari komunitas. Jika generasi muda kurang menguasai kompetensi digital, hal ini sangat berisiko bagi mereka untuk tersisih dalam persaingan memperoleh pekerjaan, partisipasi demokrasi, dan interaksi sosial. Literasi digital akan menciptakan tatanan masyarakat dengan pola pikir dan pandangan yang kritis, kreatif, tidak mudah termakan oleh isu yang provokatif, menjadi korban informasi hoaks, atau korban penipuan yang berbasis digital. Kehidupan sosial dan budaya masyarakat akan cenderung aman dan kondusif. Membangun budaya literasi digital perlu melibatkan peran aktif dari warga masyarakat secara bersama-sama. Keberhasilan membangun literasi digital sebagai indikator pencapaian di bidang pendidikan dan kebudayaan (Kemdikbud, 2017)..
Bagaimana dengan tingkat literasi di Indonesia saat ini. Dari data Unesco (2012) minat baca masyarakat Indonesia baru mencapai 0,001%. Diantara 250 juta lebih penduduk Indonesia hanya 250.000 orang yang punya minat baca, sedangkan jumlah halaman yang dibaca baru mencapai 27 halaman buku dalam satu tahun. Dalam World’s Most Literate Nations Ranked diketahui Indonesia menduduki rangking ke-60 dunia. Hal ini menunjukkan bahwa ternyata banyak orang Indonesia yang berkerumun mengkases internet bahkan terpapar oleh beragam informasi tanpa batas, namun tidak didahului dengan literasi digital yang memadai dengan terlebih dahulu mengetahui sumber aslinya.
Belajar Menjadi Pengecek Fakta
Beragam cara untuk menangkal mis- informasi atau dis-informasi di era digitalisasi sekarang ini. Mulai dari kabar palsu, berita bohong, gambar lucu-lucuan, bahkan video yang menghebohkan. Salah satu cara dalam menangkal penyebaran hoaks tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan Lokakarya Pendidikan Hoax Busting and Digital Hygiene yang diadakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ogan Ilir bekerja sama dengan Anpasa Entertainment Palembang. Hal ini dilatar belakangi oleh banyaknya informasi digital yang meresahkan masyarakat beredar di media sosial. Penyebaran informasi palsu berbentuk teks, gambar, foto, dan video semuanya memiliki tujuan tertentu yang cepat menyebar. Ironinya sebagian masyarakat di Indonesia bahkan media, tokoh, dan pejabat yang mempercayainya. Pertanyaannya, apakah penyebaran hoaks karena selama ini kita kurang pemahaman hoax busting? Bagaimanakah cara digital hygience juga menangkal penyebaran hoaks agar tidak membudaya di masyarakat? Mari belajar menjadi pengecek kebenaran. Banyak ragam mis-informasi dan dis-informasi yang tidak kita sadari ada di sekeliling kita. Oleh karenanya kita harus dapat membedakan mana mis-informasi dan dis-informasi. Mis-informasi adalah informasi yang salah, namun orang membagikannya percaya itu benar, seperti gambar pembantaian Muslim Rohingnya di Myanmar yang dibagikan oleh seseorang tidaklah benar. Sedangkan, dis-informasi merupakan informasi yang salah dan orang yang membagikannya tahu itu salah, hal ini memang disengaja, seperti gambar demonstrasi mahasiswa di depan gedung Mahkamah Konstitusi yang minta untuk diviralkan, kenyataannya berita disertai gambar tersebut salah. Pada akhirnya penyebar hoaks tersebut ditangkap oleh pihak kepolisian karena sudah meresahkan masyarakat.
Ada bermacam mis-informasi dan dis-informasi dalam penyebaran berita bohong selama ini, yaitu satire atau parodi, konten menyesatkan, konten aspal, konten pabrikasi, tidak nyambung, konteksnya salah, konten manipulatif (Romi dan Ibrahim, 2020). Satire adalah parodi yang berbentuk lucu-lucuan, tidak ada niat untuk menyakiti, tetapi berpotensi membodohi, seperti gambar orang kecapean kerja. Misleading atau konten menyesatkan adalah konten yang sengaja dibuat menyesatkan untuk membingkai sebuah isu atau menyerang individu, kebanyakan beritanya dipelintir, seperti berita yang dihubung-hubungkan. Konten Aspal adalah konten yang sumbernya seolah-olah asli padahal palsu, misalnya surat aspal Gubernur DKI Jakarta yang tidak memberi izin penggunaan Lapangan Monas. Kemudian, Konten Pabrikasi sebagai konten yang sengaja dibuat untuk menyesatkan, sama sekali tidak ada faktanya, dan bisa dikatakan 100% tidak benar, misalnya ucapan Dokter Amerika mengenai vaksin mencengangkan. Berita Tidak Nyambung berupa judul berita, foto, dan caption tidak nyambung sama isi beritanya, contohnya sidang cerai kedua Veronica dengan Ahok. Berikutnya, Konteks Salah adalah konteks yang aslinya dihilangkan lalu disebarkan, akibatnya orang menangkap informasinya di luar konteks yang sebenarnya, misalnya berita tentang Gubernur DKI yang baru dilarang rombak pejabat. Lalu, Konten Manipulatif artinya informasinya asli atau kontennya dimanipulasi, seperti orang memakai kostum Hallowen dianggap menghina Al-qu’ran. Tentu ada alasan dibalik mis-informasi dan dis-informasi yang dilakukan oknum tersebut.
Beberapa alasan terjadinya mis-informasi dan dis-informasi, diantaranya Jurnalisme yang Lemah, Buat Lucu-lucuan, Sengaja membuat Provokasi, Partisipanship, Cari Duit dengan clik by iklan, Gerakan Politik, dan Propaganda. Oleh karenanya, kita jangan langsung percaya dan membagikan berita, informasi, gambar, dan video yang diterima belum pasti kebenarannya. Kita harus selalu skeptik, cek, dan ricek tentang kebenaran dari berita atau informasi tersebut. Dalam rangka menangkal penyebaran hoaks tersebut, setidaknya ada tujuh tips dalam menangkal atau melawan mis-infromasi dan dis-informasi, yaitu (1) Alamat Situs adalah cek alamat situsnya, jika ragu lakukan riset dengan dominan bigdata.com. Selain itu huga situs abal-abal yang Cuma beralamat di blogspot. (2) Detail Visual dengan memperhatikan detail visualnya, seperti gambar logonya yang jelek. Ada situs abal-abal yang meniru mirip-mirip situs media mainstream. (3) Website Iklan maksudnya kita berhati-hati dengan website yang banyak iklannya. Media abal-abal sekadar mencari click untuk mendapatkan iklan. (4) Pakem Media adalah dengan cara membandingkan sejumlah ciri yang menjadi pakem khas jurnalistik di media maintream, misalnya nama penulisnya jelas sumbernya kredibel. (5) About Us merupakan cara mengetahui berita tentang apanya dengan mengecek alamat yang jelas dan siapa saja orang-orangnya. (6) Sensasional adalah judul atau topik yang terlalu berlebihan. Oleh karenanya harus membaca beritanya sampai tuntas. Jangan kita hanya baca judul terus langsung komentar. (7) Cek Situs Mainstream apakah informasi yang sama ada di sana dan baca situs mainstream melaporkannya. Dengan cara tersebut, bisakah kita menelusuri dan membuktikan sendiri informasi yang kita baca dan terima itu mis atau dis?
Dalam menangkal atau melawan berita bohong ini banyak cara dan paling tidak ada alat atau tools yang dapat digunakan untuk mengecek kebenaran faktanya. Namun, tidak ada satu tools yang ajaib atau paling canggih, semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Beberapa tools yang biasa digunakan untuk menangkal hoaks, seperti Hoax Buster Tools, Google Reverse Image Search, Google Map atau Google Street View. Perhatikan detail adakah tanda-tanda khusus yang diidentifikasi dan ditelusuri, misalnya nama gedung atau toko, nama jalan, plat kendaraan. Jika menggunakan Google Reserve Image Search, langkah-langkahnya, yaitu pertama simpan foto atau gambar di komputer, lalu buka image.google.com, klik paste image URL, terakhir upload an image untuk mengetahui keaslian gambar atau foto yang disebarkan dalam posting-an tersebut. Selain itu, ada digital hygiene yang dapat dilakukan untuk mengamankan akun pribadi maupun profesi kita. Ada tujuh tips dalam digital hygiene yang perlu kita lakukan, diantaranya update sofware, strong password, aplikasi, links, anti virus, otentifikasi, dan lakukan back up your data.
Lidig Tangkal Hoax untuk Hindari Pidana
Perlu kita pahami bersama bahwa dengan berasaskan hukum, manfaat, kehati-hatian, itikad baik, dan kebebasan memilik teknologi yang netral, bahkan ancaman hukuman yang menanti siapa saja yang menyebarkan hoaks telah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana diubah kedalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dalam UU Nomor 1 Tahun 1946 pada pasal 14 ayat (1) dan (2), lalu pasal 15. Sementara UU Nomor 19 Tahun 2016 pada Pasal 27 ayat (1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan; ayat (2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian; ayat (3) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik; dan pada ayat (4) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman. Pasal 28 ayat (1) Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik; dan ayat (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan. Pada pasal 29 berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi”.
Sementara itu, pada pasal 45A ayat (1) berbunyi Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); ayat (2) berbunyi Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Oleh karenanya kita dituntut bijak dan berhati-hati ketika menggunakan TIK terlebih dalam mengakses internet dan menyebarluaskan kabar, berita, informasi, gambar, foto, dan video yang belum tentu kebenaran dan keaslian sumbernya kepada siapapun. Bersama kita melek teknologi dan literasi digital. Berani Lawan Hoax!
(Guru SMP Negeri 1 Indralaya Utara)
INDRALAYA.DS,-- Selamat Hari Pers Nasional Tahun 2020 kepada seluruh insan pers di Indonesia. Kita termasuk bangsa yang besar di dunia. Salah satu ciri dari bangsa yang besar adalah masyarakatnya yang literat dengan peradaban tinggi.
Rendahnya literasi bukan hanya masalah bangsa Indonesia bebas dari buta aksara saja, tetapi yang lebih penting bagaimana caranya bangsa Indonesia memiliki kecakapan hidup untuk bersaing dan bersanding dengan bangsa lain di dunia. Artinya bangsa dengan budaya literasi yang tinggi akan menunjukkan kemampuan dalam berkolaborasi, berpikir kritis, kreatif, dan komunikatif sehingga dapat memenangi persaingan global di era revolusi industri 4.0 ini. Sebagai bangsa yang besar, kita harus mampu mengembangkan budaya literasi sebagai prasyarat dalam kecakapan hidup abad ke-21. Budaya literasi dilaksanakan melalui pendidikan yang terintegrasi, mulai dari keluarga, sekolah, sampai dengan pendidikan di masyarakat. Pertemuan World Economic Forum tahun 2015, disepakati ada enam penguasaan literasi dasar, yaitu literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, serta literasi budaya dan kewarganegaraan. Keenam literasi dasar tersebut sangatlah penting bagi semua, terutama peserta didik, pendidik, juga orang tua dan masyarakat.
Semakin berkembangnya teknologi informasi komunikasi saat ini, terutama penggunaan internet oleh generasi milenial menjadi penanda era digitalisasi yang perlu diwaspadai bersama. Tentu membawa konsekuensi dasar bahwa pentingnya penguasaan literasi digital bagi generasi milenial. Hal tersebut dikarenakan Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah pengguna internet terbesar di dunia. Tingginya penetrasi internet yang dilakukan generasi milenial tentu meresahkan banyak pihak.
Sebagaimana dilansir dari Harian Republika (2017) bahwa fakta menunjukkan bahwa data akses anak Indonesia terhadap konten berbau pornografi per hari rata-rata mencapai 25 ribu orang. Belum lagi perilaku berinternet yang tidak sehat, ditunjukkan dengan menyebarnya berita atau informasi hoaks, ujaran kebencian, dan intoleransi di media sosial. Menjadi tantangan bagi pendidik, orang tua, masyarakat, pemerintah, dan semua pihak yang mempunyai tanggung jawab dan peran serta dalam mempersiapkan generasi milenial yang selektif dan memiliki kompetensi digital yang mumpuni.
Generasi milenial yang memiliki keahlian untuk mengakses media digital saat ini belum mengimbangi kemampuannya dalam menggunakan media digital untuk kepentingan memperoleh informasi terkait pengembangan dirinya. Hal ini juga tidak didukung dengan bertambahnya materi dan informasi yang disajikan di media digital yang sangat beragam jenis, relevansi, dan validasinya (Hagel, 2012). Di Indonesia saat ini, perkembangan jumlah media tercatat meningkat pesat, yakni mencapai sekitar 43.400, sedangkan yang terdaftar di Dewan Pers hanya sekitar 243 media saja. Dengan demikian, masyarakat dengan mudah mendapatkan informasi dari berbagai media yang ada, terlepas dari resmi atau tidaknya berita tersebut (Kumparan, 2017). Hal ini terindikasi dari semakin merosotnya budaya baca masyarakat yang memang masih dalam tingkat yang rendah.
Kehadiran berbagai gawai atau gadget yang bisa terhubung dengan jaringan internet mengalihkan perhatian orang dari buku ke gawai yang mereka miliki. Di sisi lain, perkembangan media digital memberikan peluang, seperti meningkatnya peluang bisnis, lahirnya lapangan kerja berbasis media digital, pengembangan kemampuan literasi daring tanpa menegasikan teks berbasis cetak lagi. Namun, perkembangan pesat dunia digital yang dapat dimanfaatkan adalah munculnya ekonomi kreatif dan usaha-usaha untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru. Selain itu, jenis lapangan pekerjaan yang memanfaatkan dunia digital bertambah banyak, seperti ojek/taksi daring dan media sosial analisis.
Menurut Paul Gilster (1997) literasi digital adalah kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dari berbagai sumber yang sangat luas yang diakses melalui piranti komputer. Literasi digital berakar pada literasi komputer dan literasi informasi. Literasi komputer berkembang pada dekade 1980-an, ketika komputer mikro semakin luas dipergunakan, tidak saja di lingkungan bisnis, tetapi juga di masyarakat. Namun, literasi informasi baru menyebar luas pada dekade 1990-an manakala informasi semakin mudah disusun, diakses, disebarluaskan melalui teknologi informasi berjejaring. Jadi, literasi digital lebih banyak dikaitkan dengan keterampilan teknis dalam mengakses, merangkai, memahami, dan menyebarluaskan informasi. Sederhananya, media digital terdiri dari berbagai informasi sekaligus suara, tulisan dan gambar.
Sementara Belshaw (2011) mengatakan ada delapan elemen untuk mengembangkan literasi digital, yaitu (a) Elemen Kultural sebagai pemahaman ragam konteks pengguna dunia digital; (b) Elemen Kognitif adalah daya pikir dalam menilai konten; (c) Elemen Konstruktif sebagai reka cipta sesuatu yang ahli dan aktual; (d) Elemen Komunikatif dalam memahami kinerja jejaring dan komunikasi di dunia digital; (e) Elemen Kepercayaan diri yang bertanggung jawab; (f) Elemen Kreatif dalam melakukan hal baru dengan cara baru; (g) Elemen Kritis dalam menyikapi konten; (h) Elemen Bertanggung Jawab secara sosial. Jadi, kultural menjadi elemen terpenting karena memahami konteks pengguna akan membantu aspek kognitif dalam menilai konten disajikan. Literasi digital adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat komunikasi, dan jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum membina komunikasi dan interaksi di kehidupan sehari-hari.
Setiap individu perlu memahami bahwa literasi digital merupakan hal penting yang dibutuhkan untuk dapat berpartisipasi di dunia modern sekarang ini. Literasi digital sama pentingnya dengan membaca, menulis, berhitung, dan disiplin ilmu lainnya. Generasi yang tumbuh dengan akses yang tidak terbatas dalam teknologi digital mempunyai pola berpikir yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Setiap orang hendaknya dapat bertanggung jawab terhadap bagaimana menggunakan teknologi untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Teknologi digital memungkinkan orang untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan keluarga dan teman dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya, dunia maya saat ini semakin dipenuhi konten berbau berita bohong, ujaran kebencian, dan radikalisme, bahkan praktik-praktik penipuan. Keberadaan konten negatif yang merusak ekosistem digital saat ini hanya bisa ditangkal dengan membangun kesadaran dari tiap-tiap individu itu sendiri.
Menjadi literat digital berarti dapat memproses berbagai informasi, dapat memahami pesan dan berkomunikasi efektif dengan orang lain dalam berbagai bentuk. Dalam hal ini, bentuk yang dimaksud termasuk menciptakan, mengolaborasi, mengomunikasikan, dan bekerja sesuai dengan aturan etika, dan memahami kapan dan bagaimana teknologi harus digunakan agar efektif untuk mencapai tujuan. Termasuk juga kesadaran dan berpikir kritis terhadap berbagai dampak positif dan negatif yang mungkin terjadi akibat penggunaan teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Memacu individu untuk beralih dari konsumen informasi yang pasif menjadi produsen aktif, baik secara individu maupun sebagai bagian dari komunitas. Jika generasi muda kurang menguasai kompetensi digital, hal ini sangat berisiko bagi mereka untuk tersisih dalam persaingan memperoleh pekerjaan, partisipasi demokrasi, dan interaksi sosial. Literasi digital akan menciptakan tatanan masyarakat dengan pola pikir dan pandangan yang kritis, kreatif, tidak mudah termakan oleh isu yang provokatif, menjadi korban informasi hoaks, atau korban penipuan yang berbasis digital. Kehidupan sosial dan budaya masyarakat akan cenderung aman dan kondusif. Membangun budaya literasi digital perlu melibatkan peran aktif dari warga masyarakat secara bersama-sama. Keberhasilan membangun literasi digital sebagai indikator pencapaian di bidang pendidikan dan kebudayaan (Kemdikbud, 2017)..
Bagaimana dengan tingkat literasi di Indonesia saat ini. Dari data Unesco (2012) minat baca masyarakat Indonesia baru mencapai 0,001%. Diantara 250 juta lebih penduduk Indonesia hanya 250.000 orang yang punya minat baca, sedangkan jumlah halaman yang dibaca baru mencapai 27 halaman buku dalam satu tahun. Dalam World’s Most Literate Nations Ranked diketahui Indonesia menduduki rangking ke-60 dunia. Hal ini menunjukkan bahwa ternyata banyak orang Indonesia yang berkerumun mengkases internet bahkan terpapar oleh beragam informasi tanpa batas, namun tidak didahului dengan literasi digital yang memadai dengan terlebih dahulu mengetahui sumber aslinya.
Belajar Menjadi Pengecek Fakta
Beragam cara untuk menangkal mis- informasi atau dis-informasi di era digitalisasi sekarang ini. Mulai dari kabar palsu, berita bohong, gambar lucu-lucuan, bahkan video yang menghebohkan. Salah satu cara dalam menangkal penyebaran hoaks tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan Lokakarya Pendidikan Hoax Busting and Digital Hygiene yang diadakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ogan Ilir bekerja sama dengan Anpasa Entertainment Palembang. Hal ini dilatar belakangi oleh banyaknya informasi digital yang meresahkan masyarakat beredar di media sosial. Penyebaran informasi palsu berbentuk teks, gambar, foto, dan video semuanya memiliki tujuan tertentu yang cepat menyebar. Ironinya sebagian masyarakat di Indonesia bahkan media, tokoh, dan pejabat yang mempercayainya. Pertanyaannya, apakah penyebaran hoaks karena selama ini kita kurang pemahaman hoax busting? Bagaimanakah cara digital hygience juga menangkal penyebaran hoaks agar tidak membudaya di masyarakat? Mari belajar menjadi pengecek kebenaran. Banyak ragam mis-informasi dan dis-informasi yang tidak kita sadari ada di sekeliling kita. Oleh karenanya kita harus dapat membedakan mana mis-informasi dan dis-informasi. Mis-informasi adalah informasi yang salah, namun orang membagikannya percaya itu benar, seperti gambar pembantaian Muslim Rohingnya di Myanmar yang dibagikan oleh seseorang tidaklah benar. Sedangkan, dis-informasi merupakan informasi yang salah dan orang yang membagikannya tahu itu salah, hal ini memang disengaja, seperti gambar demonstrasi mahasiswa di depan gedung Mahkamah Konstitusi yang minta untuk diviralkan, kenyataannya berita disertai gambar tersebut salah. Pada akhirnya penyebar hoaks tersebut ditangkap oleh pihak kepolisian karena sudah meresahkan masyarakat.
Ada bermacam mis-informasi dan dis-informasi dalam penyebaran berita bohong selama ini, yaitu satire atau parodi, konten menyesatkan, konten aspal, konten pabrikasi, tidak nyambung, konteksnya salah, konten manipulatif (Romi dan Ibrahim, 2020). Satire adalah parodi yang berbentuk lucu-lucuan, tidak ada niat untuk menyakiti, tetapi berpotensi membodohi, seperti gambar orang kecapean kerja. Misleading atau konten menyesatkan adalah konten yang sengaja dibuat menyesatkan untuk membingkai sebuah isu atau menyerang individu, kebanyakan beritanya dipelintir, seperti berita yang dihubung-hubungkan. Konten Aspal adalah konten yang sumbernya seolah-olah asli padahal palsu, misalnya surat aspal Gubernur DKI Jakarta yang tidak memberi izin penggunaan Lapangan Monas. Kemudian, Konten Pabrikasi sebagai konten yang sengaja dibuat untuk menyesatkan, sama sekali tidak ada faktanya, dan bisa dikatakan 100% tidak benar, misalnya ucapan Dokter Amerika mengenai vaksin mencengangkan. Berita Tidak Nyambung berupa judul berita, foto, dan caption tidak nyambung sama isi beritanya, contohnya sidang cerai kedua Veronica dengan Ahok. Berikutnya, Konteks Salah adalah konteks yang aslinya dihilangkan lalu disebarkan, akibatnya orang menangkap informasinya di luar konteks yang sebenarnya, misalnya berita tentang Gubernur DKI yang baru dilarang rombak pejabat. Lalu, Konten Manipulatif artinya informasinya asli atau kontennya dimanipulasi, seperti orang memakai kostum Hallowen dianggap menghina Al-qu’ran. Tentu ada alasan dibalik mis-informasi dan dis-informasi yang dilakukan oknum tersebut.
Beberapa alasan terjadinya mis-informasi dan dis-informasi, diantaranya Jurnalisme yang Lemah, Buat Lucu-lucuan, Sengaja membuat Provokasi, Partisipanship, Cari Duit dengan clik by iklan, Gerakan Politik, dan Propaganda. Oleh karenanya, kita jangan langsung percaya dan membagikan berita, informasi, gambar, dan video yang diterima belum pasti kebenarannya. Kita harus selalu skeptik, cek, dan ricek tentang kebenaran dari berita atau informasi tersebut. Dalam rangka menangkal penyebaran hoaks tersebut, setidaknya ada tujuh tips dalam menangkal atau melawan mis-infromasi dan dis-informasi, yaitu (1) Alamat Situs adalah cek alamat situsnya, jika ragu lakukan riset dengan dominan bigdata.com. Selain itu huga situs abal-abal yang Cuma beralamat di blogspot. (2) Detail Visual dengan memperhatikan detail visualnya, seperti gambar logonya yang jelek. Ada situs abal-abal yang meniru mirip-mirip situs media mainstream. (3) Website Iklan maksudnya kita berhati-hati dengan website yang banyak iklannya. Media abal-abal sekadar mencari click untuk mendapatkan iklan. (4) Pakem Media adalah dengan cara membandingkan sejumlah ciri yang menjadi pakem khas jurnalistik di media maintream, misalnya nama penulisnya jelas sumbernya kredibel. (5) About Us merupakan cara mengetahui berita tentang apanya dengan mengecek alamat yang jelas dan siapa saja orang-orangnya. (6) Sensasional adalah judul atau topik yang terlalu berlebihan. Oleh karenanya harus membaca beritanya sampai tuntas. Jangan kita hanya baca judul terus langsung komentar. (7) Cek Situs Mainstream apakah informasi yang sama ada di sana dan baca situs mainstream melaporkannya. Dengan cara tersebut, bisakah kita menelusuri dan membuktikan sendiri informasi yang kita baca dan terima itu mis atau dis?
Dalam menangkal atau melawan berita bohong ini banyak cara dan paling tidak ada alat atau tools yang dapat digunakan untuk mengecek kebenaran faktanya. Namun, tidak ada satu tools yang ajaib atau paling canggih, semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Beberapa tools yang biasa digunakan untuk menangkal hoaks, seperti Hoax Buster Tools, Google Reverse Image Search, Google Map atau Google Street View. Perhatikan detail adakah tanda-tanda khusus yang diidentifikasi dan ditelusuri, misalnya nama gedung atau toko, nama jalan, plat kendaraan. Jika menggunakan Google Reserve Image Search, langkah-langkahnya, yaitu pertama simpan foto atau gambar di komputer, lalu buka image.google.com, klik paste image URL, terakhir upload an image untuk mengetahui keaslian gambar atau foto yang disebarkan dalam posting-an tersebut. Selain itu, ada digital hygiene yang dapat dilakukan untuk mengamankan akun pribadi maupun profesi kita. Ada tujuh tips dalam digital hygiene yang perlu kita lakukan, diantaranya update sofware, strong password, aplikasi, links, anti virus, otentifikasi, dan lakukan back up your data.
Lidig Tangkal Hoax untuk Hindari Pidana
Perlu kita pahami bersama bahwa dengan berasaskan hukum, manfaat, kehati-hatian, itikad baik, dan kebebasan memilik teknologi yang netral, bahkan ancaman hukuman yang menanti siapa saja yang menyebarkan hoaks telah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana diubah kedalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dalam UU Nomor 1 Tahun 1946 pada pasal 14 ayat (1) dan (2), lalu pasal 15. Sementara UU Nomor 19 Tahun 2016 pada Pasal 27 ayat (1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan; ayat (2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian; ayat (3) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik; dan pada ayat (4) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman. Pasal 28 ayat (1) Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik; dan ayat (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan. Pada pasal 29 berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi”.
Sementara itu, pada pasal 45A ayat (1) berbunyi Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); ayat (2) berbunyi Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Oleh karenanya kita dituntut bijak dan berhati-hati ketika menggunakan TIK terlebih dalam mengakses internet dan menyebarluaskan kabar, berita, informasi, gambar, foto, dan video yang belum tentu kebenaran dan keaslian sumbernya kepada siapapun. Bersama kita melek teknologi dan literasi digital. Berani Lawan Hoax!