• Jelajahi

    Copyright © Duta Sumsel
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Jakarta sedang "membayar" pilihan politiknya

    Kamis, 02 Januari 2020, Januari 02, 2020 WIB Last Updated 2020-01-02T12:00:17Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini
    JAKARTA.DS, -- Penulis : Dr Harris Turino
    Dosen Pascasarjana FEB UI
    Ketika Jokowi dan kemudian Ahok mulai menata aliran sungai, memperlebar bantaran sungai, membuat sodetan, membangun benteng raksasa, dan melakukan reklamasi di Jakarta, banyak orang yang protes dan berkata, “si Kafir menggusur penduduk asli demi menyediakan lahan bagi 10 juta China yang akan didatangkan dari Tiongkok.” 

    Ketika Ahok membentuk pasukan kuning, oranye, hijau, ungu, biru banyak orang mencibir dengan mengatakan, “Ini penghamburan dana APBD.”

    Siapa sebenarnya yang paling diuntungkan dari kerja-kerja Gubernur saat itu? Jelas RAKYAT KECIL. Memang mereka dipindahkan dari bantaran kali ke rumah susun, tetapi sekaligus diberi sekolah gratis, transportasi gratis dan pengobatan gratis.

    Dan sekarang ketika normalisasi sungai dihentikan dan air hanya “diajak bicara dengan santun” dan semua pasukan warna warni dibubarkan, sehingga banjir besar melanda Jakarta, siapa yang paling dirugikan? Kembali lagi ORANG KECIL.

    Buat kalangan menengah, apalagi atas, mereka ndak perlu pendidikan gratis, kesehatan gratis, angkutan gratis. Kalaupun kebanjiran, itu hanya kerepotan sedikit dalam membersihkan rumah seusai banjir. Selama banjir mereka dengan mudah pindah sementara ke hotel-hotel yang nyaman sambil menonton berita banjir di mana-mana.

    Tapi rakyat kecil? Rakyat yang tinggal di bantaran kali? Rakyat yang rumahnya sangat sederhana dan hanya 1 lantai? Mereka tak punya pilihan. Mereka harus berbasah ria dan bahkan harus makan di dapur-dapur umum yang disediakan. Hampir seluruh “barang berharga” mereka rusak terendam banjir.

    Inikah yang dinamakan keberpihakan? Kelihatannya warga Jakarta sedang “membayar” pilihan politiknya.

    Semoga kita masih cukup waras untuk tidak memberikan kesempatan kepada Wan Abud untuk menjadi “pemimpin Indonesia” di 2024. Cukup sudah pembelajaran mahal di Jakarta.

    Redaksi.www.dutasumsel.com
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini