• Jelajahi

    Copyright © Duta Sumsel
    Best Viral Premium Blogger Templates

    TRADISI KEILMUAN DALAM ISLAM PARADIGMA DAN SUMBER PENGETAHUAN

    Selasa, 17 Desember 2019, Desember 17, 2019 WIB Last Updated 2020-08-24T15:25:16Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini
    Penulis    : Indra Gunawan, M.Pd.I
    Unit Kerja    : Kemenag Ogan Ilir Guru SMP Negeri 1 Pemulutan
    Alamat    : Perum Talang Kelapa Blok III Kec. AAL Palembang


    Pendahuluan

        Islam memiliki ajaran yang lengkap, meyeluruh dan sempurna yang mengatur tata cara kehidupan manusia, baik ketika beribadah maupun ketika berinteraksi dengan lingkungannya, dengan demikian Islam merupakan agama yang memiliki banyak dimensi, yaitu mulai dimensi keimanan, akal pikiran, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup, sejarah perdamaian, sampai pada kehidupan rumah tangga.
                Untuk memahami berbagai dimensi ajaran Islam tersebut jelas memerlukan berbagai pendekatan yamg digali dari berbagai disiplin ilmu, di dalam Alquran, misanya, dijumpai ayat-ayat menegenai proses pertumbuhan dan perkembangan anatomi manusia untuk menjelaskan masalah ini jelas memerlukan ilmu anatomi manusia, begitu pula utuk membahas ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah tanaman dan tumbuh-tumbuhan jelas memerlukan bantuan ilmu pertanian, dengan demikian untuk memahami Islam secara holistik diperlukan adanya saintifikasi Islam, yakni proses mengkolaborasikan nila-nilai normatif Islam ke dalam formulasi ilmu dan tidak hanya sekedar memahami Islam secara teologis normatif saja.
                Islam sejatinya menuntut pengembangan ilmu dan teknologi yang harus menyentuh kepentingan mengangkat harkat dan martabat kehambaan kepada Allah dan membenarkan dirinya sebagai khalifah Allah di muka bumi adalah mutlak adanya, bahwa peralihan ilmu dan teknologi dalam persepsi Islam, harus selalu bergandengan dengan aspek ketauhidan. Hal ini didukung oleh sebuah hadis Rsulullah SAW., “Barangsiapa ditanya tentang ilmu dan ia menyembunyikannya, maka ia akan dirantai oleh api neraka”. Kemudian dikukuhkan pula oleh sebuah diktum Nabi yang memandang betapa pentingnya ilmu dan teknologi. Barangsiapa yang menghendaki dunia, maka wajib dengan ilmu. Atau yang menghendaki akhirat juga wajib dengan ilmu. Bagi yang menghendaki keduanya, harus pula dengan ilmu. Oleh karena itu wajar jika derajat pencapaian iptek, menurut Islam, berada pada posisi yang terhormat dan dimuliakan oleh Allah, untuk itu makalah ini akan membahas beberapa bidang yang tersangkut paradigm dan sumber-sumber keilmuan dalam Islam, diantaranya yang akan dibahas adalah: pengertian tradisi dan paradigm, teori pengetahuan menurut Islam, konsep ilmu pengetahuan dalam Islam, kedudukan ilmu pengetahuan dalam Islam, sumber-sumber ilmu pengetahuan, dan metode keilmuan dalam Islam.








    Tradisi

    Tradisi  adalah  sebuah  kata  yang  sangat  akrab  terdengar  dan  terdapat  di segala bidang. Tradisi  menurut  etimologi  adalah  kata  yang  mengacu  pada  adat  atau  kebiasaan  yang  turun  temurun,  atau  peraturan  yang  dijalankan  masyarakat[]
    Secara  langsung,  bila  adat  atau  tradisi  disandingkan  dengan  stuktur  masyarakat  melahirkan   makna  kata  kolot,  kuno,  murni  tanpa  pengaruh,  atau  sesuatu  yang  dipenuhi  dengan   sifat  takliq.
    Tradisi  merupakan  sinonim  dari  kata  “budaya”  yang  keduanya  merupakan  hasil  karya.  Tradisi  adalah  hasil  karya  masyarakat,  begitupun  dengan  budaya.  Keduanya saling  mempengaruhi.  Kedua  kata  ini  merupakan  personafikasi  dari  sebuah  makna  hukum  tidak  tertulis,  dan  hukum  tak  tertulis  ini  menjadi  patokan  norma  dalam  masyarakat  yang  dianggap  baik  dan  benar[] Tradisi menurut  terminologi, seperti yang dinyatakan oleh  Siti Nur  Aryani  dalam karyanya,  Oposisi Pasca Tradisi, tercantum bahwa tradisi  merupakan produk sosial dan hasil dari pertarungan sosial politik yang keberadaannya  terkait dengan manusia,[] atau dapat dikatakan pula  bahw tradisi adalah segala sesuatu yang turun temurun[] yang terjadi atas interaksi antara klan yang satu dengan klan yang lain[]yang kemudian membuat kebiasaan-kebiasaan satu sama lain yang terdapat dalam klan itu kemudian berbaur menjadi satu kebiasaan. 
    Dan apabila interaksi yang terjadi semakin meluas maka kebiasaan dalam klan menjadi tradisi atau kebudayaan dalam suatu ras atau bangsa yang menjadi kebanggaan mereka. Tradisi merupakan segala sesuatu  yang berupa adat, kepercayaan dan kebiasaan. Kemudian adat, kepercayaan dan kebiasaan itu menjadi ajaran-ajaran  atau paham–paham yang turun temurun dari para pendahulu kepada generasi–generasi paska mereka[] berdasarkan dari mitos-mitos[] yang tercipta atas manifestasi kebiasaan yang menjadi rutinitas yang selalu dilakukan oleh klan-klan yang tergabung dalam suatu bangsa.
    Secara pasti, tradisi lahir bersama dengan kemunculan manusia dimuka bumi, tradisi berevolusi menjadi budaya, itulah sebab sehingga keduanya merupakan personifikasi, budaya adalah cara hidup yang dipatuhi oleh anggota masyarakat atas dasar kesepakatan bersama,[]kedua kata ini merupakan keseluruhan gagasan dan karya manusia, dalam perwujudan ide, nilai, norma, dan hukum, sehingga keduanya merupakan dwitunggal.



    Paradigma

    Paradigma dalam bahasa Inggris disebut paradigm dan dalam bahasa Perancis disebut paradigm, istilah tersebut berasal dari bahasa Latin, yakni para dan deigma, Secara etimologis, para berarti (di samping, di sebelah) dan deigma berarti (memperlihatkan, yang berarti, model, contoh, arketipe, ideal), Sedangkan deigma dalam bentuk kata kerja deignynai berarti menunjukkan atau mempertunjukkan sesuatu, berdasarkan uraian tersebut, secara epistemologis paradigma berarti di sisi model, di samping pola atau di sisi contoh, paradigma juga bisa berarti, sesuatu yang menampakkan pola, model atau contoh[] selanjutnya, secara sinonim, arti paradigma bisa disejajarkan dengan guiding principle, basic point of view atau dasar perspektif ilmu atau gugusan pikir, terkadang juga ada pula yang mensejajarkannya dengan konteks (Zumri, 2003: 28).
    Lorens Bagus (2005: 779) dalam Kamus Filsafat memaparkan beberapa pengertian tentang paradigma secara lebih sistematis, paradigma dalam beberapa pengertian adalah sebagai berikut: a. Cara memandang sesuatu b. Dalam ilmu pengetahuan artinya menjadi model, pola, ideal, dari model-model ini fenomenon yang dipandang dijelaskan 3.Totalitas premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan atau mendefinisikan suatu studi ilmiah konkret, dan ini melekat di dalam praktek ilmiah pada tahap tertentu d. Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset.
    Istilah paradigma ini semakin penting sejak ilmuwan Amerika, Thomas S. Kuhn menjadikannya konsep yang krusial dalam bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolution yang terbit tahun 1962, dalam bukunya tersebut, secara tegas dinyatakan oleh Thomas S. Kuhn bahwa “…seorang ilmuwan selalu bekerja dengan paradigma tertentu. Paradigma itu memungkinkan sang ilmuwan untuk memecahkan kesulitan yang muncul dalam rangka ilmunya, sampai muncul begitu banyak anomali yang tak dapat dimasukkan dalam kerangka ilmunya dan menuntut revolusi paradigmatik terhadap ilmu tersebut.”
    Lorens Bagus (2005:779-780) juga mencoba memaparkan rangkumannya tentang pandangan beberapa filsuf mengenai paradigm, antara lain a.Plato memakai istilah ini dalam kaitan dengan idea atau forma untuk menunjukkan peranannya di dunia b.Dalam filsafat kontemporer, pusat analisis dan kritik sering merupakan kasus paradigm yang disajikan sebagai contoh isu-isu yang dibicarakan, dengan demikian kasus paradigma cenderung dianggap mirip dengan pemecahan argument, Misalnya ketika G.E. Moore mengacungkan tangannya seraya berkata, “Ini tanganku yang satu dan ini yang satu lagi.” Apa yang dicontohkan G.E. Moore tersebut adalah satu kasus paradigm, Masalahnya apakah prinsip-prinsip skeptisisme yang memiliki anggapan bahwa kita tidak punya kepastian untuk dapat meremehkan penyajian itu c.Thomas S. Kuhn beranggapan bahwa teori-teori ilmiah dibangun sekitar paradigma-paradigma besar, misalnya, model tata surya untuk atom dan perubahan-perubahan dalam teori ilmiah menuntut paradigma-paradigma baru.
    Dengan mengamini Kuhn, apa yang dimaksud dengan paradigma, secara terminologis adalah konstruksi atas realitas sosial oleh mode of though atau mode of inquiry tertentu yang pada tahap tertentu akan menghasilkan mode of knowing yang tertentu pula, misalnya; Immanuel Kant yang menganggap “cara mengetahui” sebagai “skema konseptual”; Sedangkan Karl Marx menyebutnya “ideologi” dan Wittgenstein melihatnya sebagai “cagar bahasa”[], Sampai disini perlu penulis tambahkan, bahwa secara definitif, selain paradigma itu bisa diartikan sebagai konstruksi atas realitas oleh cara berpikir atau cara pandang, paradigma juga bisa berarti sebagai jalinan ide dasar beserta asumsi dan variabel-variabel idenya[
    Dari penjelasan tentang Tradisi dan Paradigma di atas, maka dapatsimpulkan bahwa adat adalah semacam kebiasaan  yang dilakukan oleh masyarakat secara turun  temurun, dan bisa menjelma sebagai peraturan  yang  dijalankan  masyarakat, sedangkan Paradigma adalah sesuatu yang menampakkan pola, model, contoh dan bisa juga konsep pelaksanaannya.
    Dari kedua konteks di atas jika kita satukan maka kedua kata itu memiliki makna yang dapat dimengerti dan saling berhubungan, kata itu berarti pola, model, cara atau konsep yang dipakai atau diterapkan dalam melakukan kebiasaan secara turun temurun ditengah masyarakat.

    Teori Pengetahuan Menurut Islam

    Sebuah ungkapan demikian “Timur ya timur dan Barat ya barat” (Rudyard Kipling) Wawasan tentang Ketuhanan,  dengan kata-kata itu kipling hendak menunjukan bahwa unsur-unsur yang membentuk peradaban Timur dan barat sangatlah berbeda dan saling bertentangan antar satu dan yang lainnya, sehingga kecil sekali kemungkinan yang membuat keduanya bergabung dan membentuk suatu kesatuan, sebagai contoh untuk menggambarkan perbedaan-perbedaan antar keduanya itu diberikan oleh teori pengetahuan menurut Islam, yang berbeda secara mendasar dengan teori pengetahuan di barat, pertama adalah konsepsi spiritual tentang manusia dan alam tempat ia hidup, sedangkan yang kedua adalah sifatnya sekular dan skeptis terhadap wawasan tentang ketuhanan. 
    Wawasan tentang Ketuhanan yang telah menghilang dari konsepsi pengetahuan barat tentang pengetahuan merupakan titik sentral dalam teori Islami tentang pengetahuan, sesungguhnya yang membedakan cara berpikir Islami dari cara barat, adalah keyakinan tak tergoyahkan dari cara bepikir bahwa Allah berkuasa atas segala hal dan bahwa segala sesuatunya, termasuk pengetahuan, berasal dari satu-satunya sumber yang tidak lain adalah Allah. Semua filsuf muslim yang ber pendidikan seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Khaldun, dan filsuf-filsuf lainnya, semuanya sependapat bahwa sumber segala pengetahuan adalah sang Ilahi[]

    Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Paradigma Islam
          
          Berdasarkan sumber ilmu dalam Islam Al-quran dan Hadist lahirlah tradisi keilmuan dalam Islam meliputi fiqh, kalam/tauhid, tasawuf bahkan filsafat, dari tradisi ini lahirlah konsep konsep ilmu seperti Kedokteran, Fisika, biologi, Kimia, sosiologi, Antropologi dan ilmu-ilmu lainnya, bagaimana kolerasi antara fiqh, kalam, tasawuf dan filsafat dengan ilmu-ilmu yang disebutkan di atas adalah wujud keunggulan dalam tradisi keilmuan Islam. Para ilmuwan kedokteran, fisika, biologi, dll merupakan para ahli fiqh, ahli kalam, failasuf bahkan sufi yang sangat tunduk dan taat pada Allah dengan segala perintah dan larangan – Nya, inilah sebuah konsep yang dapat menjadi acuan para ilmuwan dalam perkembangannya.
    Pada era globalisasi saat ini ilmu pengetahuan umum memang sangat penting manfaatnya bagi kehidupan didunia, ilmu agama yang tidak dilengkapi oleh ilmu pengetahuan umum diibaratkan seperti orang yang pincang, tempat yang dituju jelas namun kaki menjadi kendala untuk mencapai tujuan tersebut. Demikian juga ketika ilmu pengetahuan tersebut  jika tidak dilengkapi dengan ilmu agama maka bagaikan orang yang buta, karena tidak tahu arah tujuan hidup yang sesungguhnya.
                Dengan demikian, harus disadari bersama bahwa ilmu agama dan ilmu pengetahuan itu harus berimbang keadaanya. Tapi, pada kenyataanya umat Islam banyak yang lemah dalam ilmu pengetahuan umum. Menurut para peneliti ahli ilmu Al-Qur'an, tidak kurang dari 60% dari ayat-ayat Al-Qur'an membicarakan tentang alam semesta (ilmu pengetahuan) dan hanya 40% dari ayat Al-Qur'an membicarakan tentang hukum, ibadah, tarikh, dan muamalah. Hal ini menunjukkan bahwa kita sebenarnya bisa jauh lebih unggul dalam ilmu pengetahuan umum dari orang-orang Nasrani, karena sejak diturunkannya Al-Qur'an, Allah sudah mengajari umat Islam tentang ilmu pengetahuan.[]
                Salah satu gagasan yang paling canggih, komprehensif, dan mendalam yang dapat ditemukan di dalam Alquran adalah konsep ilmu pengetahuan. Sesungguhnya, tingkat kepentingannya hanya berada di bawah konsep tauhid, yang merupakan tema sentral dan mendasar dari Alquran pentingya konsep ini terungkap dalam kenyataan bahwa Alquran menyebut akar kata “ilmu” dan kata turunannya tidak kurang dari 744 kali.[]
    Konsep ilmu membedakan pandangan dunia Islam dari cara pandang dan ideologi lainnya, tidak ada pandangan dunia lain yang membuat pencarian ilmu sebagai kewajiban individual dan sosial serta membedakan arti moral dan religius. Karenanya ilmu sebagai tonggak kebudayaan dan peradaban Muslim, konsep ilmu secara mendalam meresap kedalam lapisan masyarakat dan mengungkap dirinya dalam upaya intelektual.
                Sejak awal Islam mengisyaratkan bahwa menuntut ilmu kewajiban agama artinya menuntut ilmu pengetahuan memang benar-benar diwajibkan bagi umat Islam,  menjadi seorang Muslim berarti terlibat aktif dalam pelahiran, pemrosesan dan penyebaran ilmu. 
                Islam juga menghendaki umatnya untuk memiliki ilmu pengetahuan, baik ilmu pegetahuan agama maupun ilmu pengetahuan umum. Dalam pandangan Islam, ilmu itu tergolong suci. Ilmu merupakan barang yang sangat berharga bagi kehidupan seseorang, Ilmu itu bagaikan lampu atau cahaya. Bahwa tidak dapat seseorang berjalan di malam yang gelap, kecuali dengan lampu. Demikian pula halnya, tidak dapat seseorang membedakan yang baik dengan yang buruk, kecuali dengan ilmu.[]
    Konsep ilmu bukanlah suatu gagasan yang terbatas dan elitis, ilmu merupakan pengetahuan distributive, ilmu bukan monopoli Individu, kelompok, atau jenis kelamin, ilmu juga tak terbatas hanya pada suatu disiplin tertentu tetapi mencakup dimensi pengetahuan dan seluruh spectrum fenomena-fenomena alamiah. Sungguh Islam menempatkan ilmu dengan adil []



    Kedudukan ilmu pengetahuan dalam Islam
                Kedudukan ilmu pengetahuan dalam Islam sangat sentral. Vitalitas dan keutamaan ilmu terungkap dalam penghormatan dan kehormatan yang diberikan kepada para ilmuan serta tersirat dalam wahyu pertama yang diterima Rasulullah SAW. berupa kunci ilmu, yakni” membaca. Tercermin dalam ajakan untuk mengikuti hanya kepada orang yang berakal. Tersurat dalam peringatan bahwa ketiadaan ilmu akan menyesatkan serta tegas dinyatakan bahwa menuntut ilmu itu wajib dan berlaku selama manusia masih hidup (long life education consep). Hal ini menunjukan bahwa konsep pembelajaran sebagai suatu proses pembentukan dan perbaikan diri secara dinamis dan kontinyu merupakan acuan yang dikehendaki dalam Islam. Dengan sistem pendidikan seumur hidup, maka akan lahir good citizen (warga negara yang baik) yang memiliki kepribadian utuh.
                Perlu kita ketahui, bahwa dalil-dalil keutamaan ilmu dalam Al-Qur’an banyak sekali. Di antaranya adalah firman-Nya:


    Artinya: Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. (QS Al-Mujadalah [58]: 11)
    Ibnu ‘Abbas r.a. mengatakan, “Para ulama memiliki derajat di atas orang-orang mukmin sebanyak tujuh ratus derajat, jarak di antara dua derajat tersebut perjalanan lima ratus tahun”[]  Realita berbicara, Alquran sebagai kitab panduan umat manusia memuat ratusan ayat yang mengungkapkan tentang ilmu, mengajak manusia untuk berfikir dan melakukan penalaran (mengamati, memeperhatikan, memikirkan dan menyelidiki dengan seksama), serta memberikan penghormatan orang-orang yang suka menggunakan akal pikirannya. Ini merupakan bukti otentik yang tak dapat diragukan lagi akan pentingya kedudukan ilmu dalam Islam.
                 Selain itu Alquran tidak bertentangan dan tidak akan berseberangan dengan hakikat ilmu pengetahuan. Akal manusia akan selalu didorong oleh Alquran untuk mendalami ilmu pengetahuan. Dengan demikian, kedudukan ilmu pengetahuan dan agama dalam perspektif Islam bersifat intergral, bukan dikotomis.
                Dari kolaborasi antara ilmu pengtahuan dan agama, diharapkan selain manusia mampu membedakan fakta ilmiah dengan teori ilmiah, juga yang terpenting mampu menemukan bagaimana konsep nilai, teori atau paradigma itu dalam perspektif Alquran.
                Secara singkat, dibawah ini akan diuraikan kedudukan ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam.[]
    1. Manusia diangkat sebagai khalifatulllah (penguasa), dan dibedakan dari makhluk lain karena ilmunya. Alquran menceritakan bagaimana Nabi Adam diberi pengetahuan tentang konsep totalitas dan malaikat disuruh sujud kepadanya. Beberapa kali Allah mengaitkan  penciptaan manusia dengan kemampuannya untuk memiliki dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu tugas manusia di dunia harus dapat menggali potensi diri (menguasai ilmu dan teknologi), dengan tujuan agar dapat memahami, mengungkapkan, dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
    2. Hakikat manusia tidak terpisah dari kemampuannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Ilmu yang disertai iman adalah ukuran derajat manusia.
    3. Alquran diturunkan dengan ilmu Allah, dan hanya dapat direnungkan atau dimengerti maknanya oleh orang-orang yang berilmu. Untuk memperoleh petunjuk dari Alquran, bukan saja diperlukan ketakwaan dan keimanan, tetapi juga ilmu pengetahuan.
    4. Alquran memberikan isyarat bahwa yang berhak memimpin umat ialah yang memiliki ilmu pengetahuan.
    5. Allah melarang manusia untuk mengikuti suatu perbuatan tanpa memiliki ilmu mengenainya. Di sini Islam menuntut agar manusia tidak bersikap dan bertindak kecuali berdasarkan ilmu

    Sumber Ilmu Pengetahuan
    Manusia merupakan makhluk Allah SWT yang sejak kehadirannya di muka bumi telah diberikan potensi untuk dapat menghadapi kehidupan, Nabi Adam sebagai manusia prtama telah diberikan pengetahuan tentang segala sesuatu dari alam ini, berbeda dengan makhluk Allah SWT yang lainnya, yang tidak diberikan kemampuan untuk menyebutkan apalagi menganalisa berbagai hal. Semua ini disebabkan karena Allah SWT menjadikan Adam sebagai khalifah dan melengkapinya dengan kesempurnaan jasmani dan ruhani, sebagaimana telah dijelaskan Allah dalam firmannya Surat al-Haj (22) ayat 46 berbunyi:


    Artinya: maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada (QS. Al-Haj 22:46)

    Manusia dengan potensi yang dimilikinya mampu mengembangkan pengetahuan dalam rangka mengatasi kebutuhan hidup dan bahkan lebih dari itu manusia mampu mengembangkan kebudayaan, memberi makna pada kehidupan dan dia memiliki tujuan dalam kehidupan[]. Perkembangan pengetahuan manusia dapat terjadi karena manusia memiliki bahasa yang dapat mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut, selain itu manusia memiliki kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu yang disebut penalaran, [] Selanjutnya sumber pengetahuan yang dimaksud adalah:
    1. Rasio
    Rasio biasa kita mengenalnya sebagai akal pikiran, kata akal berasal dari kata Arab,  yaitu al-‘aql yang dalam bentuk kata benda tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an hanya menyebutnya dalam bentuk kata kerja seperti ‘aqaluh, ta’qilun, na’qil, ya’qiluha dan ya’qilun yang mengandung arti faham dan mengerti seperti terdapat dalam (QS.Al-Haj ayat [22] 46): yang telah dijelaskan di atas. 
    Manusia yang menjadikan rasio atau akal sebagai sumber pengetahuan disebut dengan kaum rasionalis yang mengembangkan paham rasionalisme, yaitu paham yang menyatakan bahwa idea tentang kebenaran itu sudah ada, dan pikiran manusia dapat mengetahui idea tersebut namun tidak menciptakannya dan tidak juga mempelajarinya lewat pengalaman (paham idealisme), dengan perkataan lain, idea tentang kebenaran, yang menjadi dasar pengetahuan, diperoleh lewat berpikir rasional, terlepas dari pengalaman manusia, sistem pengetahuan dibangun secara koheren di atas landasan-landasan pernyataan yang sudah pasti[]dan mereka menggunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. 
    Masalah utama yang timbul dari cara berpikir rasional adalah kriteria untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu ide dimana menurut seseorang adalah jelas dan dapat dipercaya namun belum tentu bagi orang lain, jadi masalah utama yang dihadapi kaum rasionalis adalah evaluasi dari kebenaran premis-premis yang dipakainya dalam penalaran deduktif, Karena premis-premisnya semuanya bersumber pada penalaran rasional yang bersifat abstrak dan terbebas dari pengalaman maka evaluasi semacam ini tak dapat dilakukan. Oleh sebab itu maka lewat penalaran rasional akan didapatkan bermacam-macam pengetahuan mengenai satu obyek tertentu tanpa adanya suatu consensus yang dapat diterima oleh semua pihak, dalam hal ini maka pemikiran rasional cenderung untuk bersifat solipsistic dan subyektif [].
    Para tokoh rasionalisme diantaranya adalah Plato dan Rene Descartes, Plato menyatakan bahwa manusia tidak mempelajari apapun, dia hanya “teringat apa yang telah dia ketahui”, semua prinsip-prinsip dasar dan bersifat umum telah ada dalam pikiran manusia, pengalaman indera paling banyak hanya dapat merangsang ingatan dan membawa kesadaran terhadap pengetahuan yang selama itu sudah berada dalam pikiran.
    1. Pengalaman/empiris
    Kebalikan dari kaum rasionalis, kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia bersumber pada pengalaman yang kongkret, gejala-gejala alamiah merupakan sesuatu yang bersifat kongkret dan dapat dinyatakan lewat tangkapan pancaindera manusia, melalui gejala-gejala atau kejadian-kejadian yang berulang-ulang dan menunjukkan pola yang teratur, memungkinkan manusia untuk melakukan generalisasi, dengan mempergunakan metode induktif maka dapat disusun pengetahuan yang berlaku secara umum lewat pengamatan terhadap gejala-gejala fisik yang bersifat individual.
    Kaum empiris menganggap bahwa dunia fisik adalah nyata karena merupakan gejala yang dapat tertangkap oleh pancaindera, sedangka panca indera manusia sangat terbatas kemampuannya dan terlebih penting lagi bahwa pancaindera manusia bias melakukan kesalahan, misalnya bagaimana mata kita melihat sebatang pensil yang dimasukkan ke dalam gelas bagian yang terendam air terlihat bengkok[]. 
    1. Intuisi
    Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu, seseorang yang sedang terpusat pikirannya pada sesuatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Tanpa melalui proses berpikir yang berliku-liku tiba-tiba saja dia sudah sampai situ, Jawaban permasalahan yang sedang dipikirkannya muncul dibenaknya bagaikan kebenaran yang membukakan pintu [] (Jujun S, 2009:53). 
    Bagimana hal tersebut dapat terjadi pada diri manusia, para filosof muslim  mencoba menjawab pertanyaan tersebut diantaranya Al Kindi (796-873 M), Ibnu miskawaih (941-1030 M), dan Ibnu Sina (980-1037 M), Menurut Ibnu Sina, dalam kehidupan ini terdapat tiga jiwa, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa binatang, dan jiwa manusia, masing-masing jiwa tersebut memiliki daya-daya, jiwa tumbuhan memiliki tiga daya, yaitu daya makan, daya tumbuh, dan daya membiak,  jiwa binatang memiliki daya penggerak dan daya pencerap dan jiwa manusia hanya memiliki satu daya yaitu akal.
    Akal manusia ini terbagi menjadi dua, yaitu 1.Akal Praktis yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indera pengingat yang ada pada jiwa binatang 2.Akal Teoritis yang menangkap arti-arti murni, arti-arti yang tidak ada pada materi seperti Tuhan, roh, dan malaikat, akal praktis memusatkan pada alam materi, sedangkan akal teoritis mencurahkan perhatiannya pada dunia immateri dan bersifat metafisis, akal toeritis ini pun terbagi lagi menjadi empat, yaitu (a) Akal materil (b) Akal bakat (c) Akal aktuil dan (d) Akal perolehan/akal mustafad.
    Akal dalam derajat yang terakhir inilah yang merupakan akal tertinggi dan terkuat dayanya yang dimiliki para filosof atau orang-orang tertentu, akal ini mampu terhubung dan dapat menangkap cahaya yang dipancarkan Tuhan ke alam materi melalui Akal yang sepuluh seperti tersebut dalam falsafat emanasi Al Farabi []
    Demikianlalah menurut pendapat para filosof tentang akal mustafad/akal perolehan, kaum sufi mengenalnya dengan istilah qalb, dzauq, Bergson menyebutnya intuisi dan Kant menyebutnya dengan moral atau akal praktis, pengetahuan yang demikian menurut Ahmad Tafsir disebut sebagai pengetahuan mistik (mystical knowledge) dengan paradigma mistik (mystical paradigm), yang didapat melalui metode latihan (riyadhah) dan metode yakin atau percaya [].
    Keingintahuan manusia tentang sesuatu yang berada dibalik materi, tentang siapakah yang berada dibalik keteraturan materi, yang menciptakan hukum-hukumnya bukanlah objek empiris dan bukan pula dapat dijangkau akal rasional dan objek ini dikenal dengan objek abstrak-supra-rasional atau meta-rasional yang dapat dikenali melalui rasa, bukan panca indera dan atau akal rasional [].
    1. Wahyu
    Wahyu berasal dari kata Arab al-Wahy dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan kata pinjaman dari bahasa asing, kata itu berarti suara, api dan kecepatan, disamping itu wahyu mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab, al-Wahy selanjutnya mengandung pengertian pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat. Yang dimaksud dengan wahyu sebagai sumber pengetahuan adalah wahyu yang diturunkan kepada orang pilihan-Nya agar diteruskan kepada umat manusia agar dijadikan pegangan hidup berisi ajaran, petunjuk dan pedoman yang diperlukan bagi umat manusia di dunia dan akhirat, dalam Islam wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW terkumpul dalam Al-Qur’an [] (Nasution, 1986:11).
    Seperti tergambar dalam konsep wahyu tersebut di atas, pewahyuan mengandung pengertian adanya komunikasi antara Tuhan yang bersifat immateri dengan manusia yang bersifat materi, menurut Ibnu Sina manusia yang telah memiliki akal musstafad dapat melakukan hubungan dengan Akal kesepuluh yang dijelaskannya sebagai Jibril. 
    Filosof memiliki akal perolehan yang lebih rendah dari para nabi sehingga filosof tidak bisa menjadi nabi, menurut kaum sufi, komunikasi dengan Tuhan dapat dilakukan melalui daya rasa manusia yang berpusat dihati sanubari. Kalau filosof mendapatkan akal perolehan dengan mempertajam daya pikir atau akalnya, sedangkan kaum sufi dengan memusatkan perhatian pada hal-hal yang bersifat murni abstrak, mereka mempertajam daya rasa atau kalbunya dengan menjauhi hidup kematerian dan memusatkan perhatian pada usaha pensucian jiwa [] (Nasution, 1986:18).
    Dimanakah letak perbedaan antara penerimaan wahyu oleh Nabi Muhammad SAW dengan penerimaan ilham oleh sufi dan filosof, pada sufi dan filosof terdapat terlebih dahulu dalam diri mereka ide dan barulah kemudian ide itu diungkapkandalam kata-kata, sebaliknya pada Nabi tidak ada ide sebelumnya, nabi mendengar suara yang jelas tanpa ada ide yang mendahului ataupun bersamaan datangnya dengan kata yang diucapkan, kita ketahui bahwasannya Nabi Muhammad SAW sendiri terperanjat pada awalnya ketika menerima atau menangkap kata-kata yang didengarnya dan beliau merasa dirinya dipaksa untuk mengucapkan kata-kata yang diwahyukan itu.
    Wahyu yang datang dari Tuhan, Yang Maha Kuasa dan Maha mengetahui kepada para utusan/nabi, memiliki nilai kebenaran yang absolute, semua ayat yang terdapat dalam Al Qur’an memang absolut benar datang dari Allah SWT yang diistilahkan dengan qath’i al wurud, namun demikian tidak semua ayat mengandung arti yang jelas (qath’i al dalalah) dan banyak diantaranya mengandung arti tidak jelas (zanniy al dalalah) yang menimbulkan interpretasi berbeda dikalangan umat, wahyu dalam hal ini adalah Al Qur’an merupakan sumber pengetahuan bagi manusia, yang memberikan petunjuk tentang sesuatu yang berguna bagi kehidupan manusia.
    Pendapat lain tentang sumber pengetahuan adalah menurut Louis O. Kastof mengatakan bahwa sumber ilmu pengetahuan manusia ada lima, yaitu: empiris, rasio, fenomena, intuisi dan metode ilmiah [] Sedangkan jika dikembalikan kepada Al-quran Ada empat sumber yang ditunjukan Alquran untuk memperoleh pengetahuan bagi manusia, antara lain:
    1. Alquran dan Assunnah. Keduanya merupakan sumber pertama ilmu pengetahuan.
    2. Alam semesta. Alquran menyuruh manusia  memikirkan keajaiban-keajaiban ciptaan Allah, penciptaan bumi dan lautan, hujan dan halilintar, langit dan bintang-bintang, tumbuh-tumbuhan, mineral dan logam, serta yang lainnya.
    3. Manusia adalah sumber ketiga ilmu. “Hendaklah manusia memperhatikan dari apa ia diciptakan”. 
    4. Sejarah umat manusia. Banyak dari sisi kehidupan merupakan kelanjutan dari produk sejarah. Meskipun Alquran bukan buku sejarah, akan tetapi di dalamnya termuat hukum sejarah, hukum Allah tentang sejarah kemanusiaan. Di dalamnya juga termaktub pola sejarah kemanusiaan dari zaman Nabi Adam hingga sejarah manusia akhir zaman.

    Metode keilmuan
    Banyak ayat-ayat al-quran yang memerintahkan agar manusia mengembangkan metode ilmiah (keilmuan), dengan perintah-Nya, manusia dierintahkan untuk menggunakan pikiran, melatih metode berpikir atau dalam bahasa keilmuannya mengembangkan metode ilmiahnya, Metode ilmiah terdiri dari dua pendekatan yaitu pendekatan deduktif dan pendekatan induktif[] Perintah Allah untuk memperhatikan kenyataan alam dan proses kejadian itu adalah perintah mengembangkan metode induktif. 
    Ilmu pengetahuan dimulai dari pengetahuan atau pengalaman setelah melalui berbagai proses, seperti perhatian, penalaran dan penelitian, seterusnya dirumuskan menjadi satu teori yang bersifat sistematis, rasional, empiris dan kualitatif; barulah pengetahuan itu dapat dikategorikan sebagai ilmu pengetahuan, Ilmu pengetahuan tidak lagi sederhana, tiap aktivitas manusia menghasilkan ilmu pengetahuan, karena membutuhkan penalaran akal yang terus menerus sampai terbukti kebenaran teori.
    Kebanyakan manusia memperoleh ilmu pengetahuan dari pengalaman yang diperoleh melalui indera yang dimiliknya, dengan inderanya manusia mengenal hal-hal yang ada disekitarnya, manusia tahu bahwa api itu panas dan es itu dingin, tahu bahwa terjadi pergantian siang dan malam, selain itu manusia juga tahu akan hukum atau aturan yang tetap, pengetahuan itu, meskipun tidak disadari dan seringkali tidak dirumuskan dengan kata-kata yang jitu dan tepat, tetapi diakui kebenarannya, serta dipergunakan dalam hubungan dengan kehidupan sehari-hari.
    Pengetahuan berjalan menurut metode tertentu, karena pengetahuan tertentu memiliki metode, Metode yang dimaksud adalah metode keilmuan, atau yang biasa disebut metode ilmiah, ia merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu, jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui metode ilmiah.
    Untuk memperoleh pengetahuan, manusia bisa menempuh melalui dua cara, yaitu:
      1. Jalur ilahiah (Revealed Knowledge)
    Manusia memperoleh ilmunya dari informasi-informasi Ilahiyah (ilmu pengetahuan yang diwahyukan) melalui kitab suci Alquran secara langsung, siap pakai dan tanpa harus menggunakan prosedur metode ilmiah. Lewat jalur Ilahiyah manusia dapat memeperoleh berbagai pengetahuan, baik yang bersifat pengetahuan empiris  maupun non empiris (gaib). 
    Masalah non empiris misalnya tentang Tuhan, Malaikat dan Setan, Surga dan neraka, contoh tersebut semuanya berada diluar jangkauan pengalaman manusia dan diluar penjelajahan ilmu, Sedangkan masalah empiris misalnya mengenai proses kejadian manusia, contuh lain: “Akan Kami tunjukan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami disegenap penjuru ufuk dan juga di dalam diri mereka sendiri”[] “sesungguhnya didalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian siang dan malam terdapat kekuasaan kami bagi orang-orang yang berakal”.[] “Apakah mereka tidak meneliti bagaimana unta diciptakan, dan langit bagaimana ia ditinggikan?dan gunung-gunung bagaiman ia ditegakan dan bumi bagaimana ia dihamparkan?”[]
    1. Jalur Insaniyah (Acquired Knowledge)
    Melalui jalur ini manusia mendapat ilmunya setelah melalui proses pencarian ilmu dengan berolah fikir, berolah jiwa berolah indera, maupun dengan cara berolah raga, dengan olah fikir dan olah jiwa manusia memperoleh filsafat, dengan ruang lingkup yang menyeluruh, mendasar meskipun masih bersifat spekulatif, disamping filsafat, manusia juga memperoleh logika, dengan berolahraga manusia memperoleh ilmu beladiri, ilmu kesehatan dan sebagainya, Islam tidak mengenal sampai dimana batas ilmu pengetahuan yang bisa dicapai manusia, karena itu  perintah untuk mencari ilmu tidak terbatasi oleh waktu, tempat maupun jenis menuntut ilmu merupakan kewajiban manusia sepanjang hidupnya dari sejak lahir sampai akhir hayat.

    Etika Islam dalam Pengembangan Iptek

    Pada abad ke-21, ilmu pengetahuan dan teknologi masih akan menjadi faktor dominan dalam kehidupan manusia, laksana kekuatan raksasa, ilmu pengetahuan bisa secara potensial sangat destruktif tergantung bagaimana manusia mengolah dan mengarahkannya, teknologi juga akan berbahaya jika berada di tangan orang yang secara mental dan keyakinan agama belum siap, mereka dapat menyalahgunakan teknologi untuk tujuan yang mengkhawatirkan, contohnya kasus yang baru terjadi ialah pembuatan blog pembunuh bayaran professional, tanpa merasa bersalah atau berdosa mereka lakukan, maka dari itu manusia perlu meninjau ulang fungsi ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kehidupan, apakah orientasinya masih bersifat positive-konstruktif atau cenderung malah negative-destruktif.
    Adapun etika Islam dalam pengembangan Iptek dapat dikemukakan sebagai berikut []: 
    Pertama, Islam sebagai ajaran yang komprehensif dan universal dalam ajarannya tidak mengenal kompartementalisasi bidang-bidang kehidupan manusia, sehingga bidang pengembangan ilmu dan teknologi juga merupakan bagian integral muslim secara utuh, akan tetapi yang tidak boleh dilupakan adalah aplikasi ilmu dan teknologi harus sesuai dengan ajaran Islam. Kedua, dalam system Islam seluruh kehidupan manusia Muslim pada hakikatnya harus diniatkan sebagai pengabdian (ibadah) kepada Allah, dengan demikian tidak mungkin seorang Muslim melacurkan ilmu kepada sesamanya baik yang berwujud Tiran, Dictator, maupun kekuatan kolonialisme atau kapitalis yang bersifat eksploitatif. Ketiga, sesuai dengan fungsi Islam sebagai rahmatan lil alamin [], maka ilmu dan teknologi dikembangkan oleh para ilmuwan membawa rahmat bagi seluruh umat manusia, bukan sebaliknya membawa laknat, bencana dan malapetaka, dengan demikian iptek harus dikelola dengan etika sehingga tidak merusak kehidupan manusia, ekosistem flora dan fauna di muka bumi [] Keempat, erat hubungannya dengan prinsip diatas, ilmu dan teknologi boleh dikembangkan sejauh mungkin selama berlandaskan etik atau moral yang jelas, ilmu dan teknologi sebagai bagian dari kehidupan manusia guna mencapai sebuah kesejahteraan, oleh karena itu harus tetap berlandaskan moral Kelima, pengembangan ilmu dan teknologi harus memiliki korelasi yang positif  bagi meningkatkan ketakwaan kepada Sang Pecipta, sehingga melahirkan ilmuwan yang beriman (Ulil Albab), dengan demikian intelektual mukmin akan terhindar dari kecongahan intelektual (dodol/geblek), iman perlu dibina dengan pemahaman terhadap gejala-gejala alam semesta, dengan demikian iman sejatinya tidak bisa dipisahkan dengan ilmu, karena segala ilmu berasal dari Allah, yang Maha Segalanya. 

    Agama dan Ilmu Pengetahuan 
    Agama dan ilmu pengetahuan (sains), adalah dua kata yang memiliki arti universal. Agama adalah pandangan tertentu kepada kehidupan. Agama membentuk suatu aturan dan undang-undang berdasarkan pandangan tersebut. Sementara sains adalah pengetahuan yang mencoba mengungkapkan misteri alam beserta isinya. Hal tersebut memungkinkan manusia dapat menyingkap misteri alam, mamanfaatkan dan meramalkan sesuatu yang bakal terjadi di kemudian hari. Oleh karena itu, sains membatasi ruang geraknya pada segenap gejala yang ditangkap oleh pengalaman manusia melalui panca inderanya.
    Terdapat teori ilmu pengetahuan, Alquran memberikan gambaran yang secara urut mempunyai skala menarik, yakni: (a) pengetahuan yang diperoleh dari kesimpulan atau ilmu yakin [] (b) pengetahuan yang diperoleh dari penglihatan dan yang dilaporkan oleh pengamatan atau ainul yakin [] dan (c) pengetahuan yang diperoleh dengan pengalaman pribadi atau intuisi atau haqqul yakin []
    Pengetahuan yang pertama, ilmu yakin, terdapat keyakinan yang lebih besar terhadap pengetahuan manusia yang didasarkan kepada pengalaman akal actual yang diperoleh melalui observasi dan eksperimentasi terhadap suatu gejala atau fenomena, pengetahuan bentuk kedua yakni, Ainul Yakin, adalah pengetahuan ilmiah yang didasarkan kepada pengalaman observasi atau ekperimentasi maupun pengetahuan sejarah yang didasarkan kepada laporan-laporan dan penggambaran dari pengalaman actual, sedangkan bentuk yang ketiga adalah pengetahuan tertinggi yakni, Haqqul Yakin, pengalaman melalui batin memberikan derajat paling tinggi, dan petunjuk Allah mula-mula datang kepada makhluknya dari sumber manusia sendiri.
                Ilmu agama, seperti Ilmu tauhid, ilmu tafsir, ilmu hadits, serta ilmu akhlak mengantarkan manusia dapat memahami agama Islam dengan benar dan meyakininya, mengamalkannya dengan ikhlas, berakhlak mulia dan perbuatan-perbuatan baik lainnya. Dengan demikian, apabila di suatu masyarakat yang penduduknya memiliki pengetahuan agama yang baik, maka biasanya suasana pada masyarakat yang demikian itu aman dan tentram. 
                Ilmu pengetahuan umum yang berhubungan dengan masalah-masalah keduniaan juga manfaatnya bagi masyarakat tidak berbeda dengan manfaat ilmu agama, asalkan digunakan sejalan dengan tuntunan agama. Manusia dengan akalnya diberikan oleh Allah kemampuan untuk menyerap sejumlah ilmu pengetahuan, walaupun hanya sedikit saja dibandingkan dengan kesempurnaan ilmu Allah, akan tetapi tetap harus berpegang kepada kebenaran untuk mencari ridho Allah SWT.[]


    1. KESIMPULAN

    Dari penjelasan di atas mengenai berbagai bidang yang terkait dengan masalah paradigma dan sumber keilmuan dalam Islam, maka dapat diambil beberapa kesimpulan yang penting sebagai berikut;  Maksud Tradisi dan Paradigma dalam pembahasan bidang Filsafat Ilmu ini adalah sebuah pola, model, cara atau konsep keilmuan yang dipakai atau diterapkan dalam melakukan kebiasaan secara turun temurun ditengah masyarakat.
    Teori Pengetahuan Menurut Islam yang dapat dipegang adalah suatu keyakinan yang tak tergoyahkan dari cara bepikir bahwa Allah berkuasa atas segala hal dan segala sesuatunya, termasuk pengetahuan berasal dari satu-satunya sumber yang tidak lain adalah Allah, sebagaimana yang ada dalam keyakinan para filsup Islam seperti; Al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Khaldun, dan filsuf-filsuf lainnya, semuanya sependapat bahwa sumber segala pengetahuan adalah sang Ilahi.
    Selanjutnya mengenai konsp kedudukan ilmu pengetahuan dalam Islam menjadi hal yang sangat penting untuk dipahami, Berdasarkan sumber ilmu dalam Islam Al-quran dan Hadist lahirlah tradisi keilmuan dalam Islam meliputi fiqh, kalam/tauhid, tasawuf bahkan filsafat, dari tradisi ini lahirlah konsep konsep ilmu seperti Kedokteran, Fisika, biologi, Kimia, sosiologi, Antropologi dan ilmu-ilmu lainnya, ilmu-ilmu ini memiliki kedudukan sebagai perwujudab atau sebagai manipestasi dari isi-isi yang ada dalam sumber pengetahuan di atas yaitu Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad saw.
    Selanjutnya pengetahuan dapat diterima dari berbagai cara atau sumber seperti; Rasio, Pengalaman/empiris, Intuisi dan Wahyu, sementara yang lain menambahkan, selain dari sumber di atas pengetahuan juga bisa didapat melalui Fenomena dan metode ilmiah, pengetahuan yang di dapat untuk menjadi lebih sempurna, ilmuwan harus mengembangkan dan mengaktulkannya dalam bentuk IPTEK yang tidak melupakan etika nilai baik dan buruk, dengan demikian maka, agama dan ilmu pengetahuan dapat membawa masyarakat yang damai dan sejahtera.


    Komentar

    Tampilkan

    Terkini