masukkan script iklan disini
JAKARTA, DS - Impor tembakau yang tidak terkontrol dipastikan membuat kalangan petani di dalam negeri kian terdesak. Diperlukan kebijakan roadmap agar impor tembakau secara perlahan dikurangi.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2012 impor tembakau tembus hingga 151 ribu ton. Kemudian di 2013 mencapai 135 ribu ton, kemudian 2014 tercatat impor tembakau mencapai 111 ribu ton. Adapun pada 2015 impor tembakau mencapai 81 ribu ton, dan di 2016 tercatat impor tembakau 91 ribu ton.
Ekonom senior Institut Pertanian Bogor (IPB), Ricky Avenzora, mengemukakan, dinamika penguasaan impor tembakau tersebut dapat diibaratkan sebagai "7th-phase of trickle down effect" (fase ke 7 dari dampak negatif) yang harus ditanggung bangsa Indonesia akibat kebodohan politik dagang internasional yang dijalani selama ini.
"Pada fase pertama hingga ke enam, kita semua telah membiarkan industri tembakau kita dihancurkan oleh isu bahaya merokok, membiarkan petani tembakau kita dilemahkan oleh pelaksanaan rezim pajak progresif tembakau, membiarkan "runtuhnya" industri rokok kita, hingga membiarkan industri rokok kita diakuisisi oleh negara asing yang jadi pesaing kita," jelas Ricky, saat dihubungi media, Selasa (20/6)
Paling parah, membiarkan bangsa asing menarik rente ekonomi melalui berbagai kedok "foundation". Ricky menambahkan, pada fase ke 7 ini, asing bukan saja sedang ingin melumpuhkan para petani tembakau, melainkan juga sedangan secara sistematis membunuh petani tembakau kita.
Semua itu, kata Ricky, berbagai warning bahaya itu mestinya sangat mudah dipahami oleh para akademisi. Sayangnya banyak akademisi bukan saja tidak mempunyai integritas kebangsaan, melainkan jadi kepentingan asing dalam melumpuhkan kepentingan Indonesia sembari menerima dana-dana asing.
"Selama rezim pemerintah yang berjalan masih dikelililingi para "mafia rente", maka pemerintah akan selalu plintat-plintut dan tidak akan pernah menyadari semua bahaya itu," tegasnya.
Situasi kian runyam dan buruk sejalan dengan diberlakukan nya "global first politic" oleh Rezim Jokowi, dan menjadi lebih buruk lagi bersamaan dengan tidak terukurnya proyeksi dan kepastian manfaat pembangunan dalam jangka menengah dan jangka panjang.
Menurut Ricky, ambisi keberhasilan Rezim Jokowi yang diorientasikan pembangunan infrastrukur secara serentak melalui skema utang dan konsesi pada dan untuk bangsa asing, hanyalah memberi kepastian manfaat jangka pendek bagi kontraktor dan supliernya.
Sedangkan dalam jangka menengah dan panjang, nilai ekonomi infrastruktur yang dibangun masih sangat diragukan.
"Jika dikaitkan dengan dinamika tersebut, maka semua petani tembakau perlu bersiap-siap untuk terpaksa menjual lahan mereka atas berbagai skenario okupasi yang sangat tidak bermoral melalui banyak pihak," pungkas Ricky.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2012 impor tembakau tembus hingga 151 ribu ton. Kemudian di 2013 mencapai 135 ribu ton, kemudian 2014 tercatat impor tembakau mencapai 111 ribu ton. Adapun pada 2015 impor tembakau mencapai 81 ribu ton, dan di 2016 tercatat impor tembakau 91 ribu ton.
Ekonom senior Institut Pertanian Bogor (IPB), Ricky Avenzora, mengemukakan, dinamika penguasaan impor tembakau tersebut dapat diibaratkan sebagai "7th-phase of trickle down effect" (fase ke 7 dari dampak negatif) yang harus ditanggung bangsa Indonesia akibat kebodohan politik dagang internasional yang dijalani selama ini.
"Pada fase pertama hingga ke enam, kita semua telah membiarkan industri tembakau kita dihancurkan oleh isu bahaya merokok, membiarkan petani tembakau kita dilemahkan oleh pelaksanaan rezim pajak progresif tembakau, membiarkan "runtuhnya" industri rokok kita, hingga membiarkan industri rokok kita diakuisisi oleh negara asing yang jadi pesaing kita," jelas Ricky, saat dihubungi media, Selasa (20/6)
Paling parah, membiarkan bangsa asing menarik rente ekonomi melalui berbagai kedok "foundation". Ricky menambahkan, pada fase ke 7 ini, asing bukan saja sedang ingin melumpuhkan para petani tembakau, melainkan juga sedangan secara sistematis membunuh petani tembakau kita.
Semua itu, kata Ricky, berbagai warning bahaya itu mestinya sangat mudah dipahami oleh para akademisi. Sayangnya banyak akademisi bukan saja tidak mempunyai integritas kebangsaan, melainkan jadi kepentingan asing dalam melumpuhkan kepentingan Indonesia sembari menerima dana-dana asing.
"Selama rezim pemerintah yang berjalan masih dikelililingi para "mafia rente", maka pemerintah akan selalu plintat-plintut dan tidak akan pernah menyadari semua bahaya itu," tegasnya.
Situasi kian runyam dan buruk sejalan dengan diberlakukan nya "global first politic" oleh Rezim Jokowi, dan menjadi lebih buruk lagi bersamaan dengan tidak terukurnya proyeksi dan kepastian manfaat pembangunan dalam jangka menengah dan jangka panjang.
Menurut Ricky, ambisi keberhasilan Rezim Jokowi yang diorientasikan pembangunan infrastrukur secara serentak melalui skema utang dan konsesi pada dan untuk bangsa asing, hanyalah memberi kepastian manfaat jangka pendek bagi kontraktor dan supliernya.
Sedangkan dalam jangka menengah dan panjang, nilai ekonomi infrastruktur yang dibangun masih sangat diragukan.
"Jika dikaitkan dengan dinamika tersebut, maka semua petani tembakau perlu bersiap-siap untuk terpaksa menjual lahan mereka atas berbagai skenario okupasi yang sangat tidak bermoral melalui banyak pihak," pungkas Ricky.